Beranda | Artikel
Di Manakah Allah (3), Para Sahabat dan Tabiin Menyatakan Allah Di Atas Seluruh Makhluk-Nya
Rabu, 17 Maret 2010

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in. Para pengunjung Rumaysho.com yang semoga dirahmati oleh Allah Ta’ala. Dalam serial pertama kami telah mengupas sedikit mengenai keyakinan terhadap nama dan sifat Allah. Dalam serial kedua kami melanjutkan pembuktian mengenai keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Sedangkan dalam serial ketiga ini kami akan membuktikan melalui atsar para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para tabi’in mengenai keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya yang menjadi keyakinan yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Semoga pembahasan ini dapat membuka hati abusalafy dan orang-orang semisalnya yang masih meragukan keberadaan Allah di atas seluruh makhluk-Nya.

Kesaksian Para Sahabat radhiyallahu ‘anhum

Pertama: Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma membenarkan seorang pengembala yang meyakini Rabbnya di atas langit.

Dalam hadits Zaid bin Aslam, dia berkata,

مر ابن عمر براع فقال هل من جزرة فقال ليس هاهنا ربها قال ابن عمر تقول له أكلها الذئب  قال فرفع رأسه إلى السماء وقال فأين الله فقال ابن عمر أنا والله أحق أن أقول أين الله واشترى الراعي والغنم فأعتقه وأعطاه الغنم

“(Suatu saat) Ibnu ‘Umar melewati seorang pengembala. Lalu beliau berkata,  “Adakah hewan yang bisa disembelih?” Pengembala tadi mengatakan, “Pemiliknya tidak ada di sini.” Ibnu Umar mengatakan, “Katakan saja pada pemiliknya bahwa ada serigala yang telah memakannya.” Kemudian pengembala tersebut menghadapkan kepalanya ke langit. Lantas mengajukan pertanyaan pada Ibnu Umar, ”Lalu di manakah Allah?”Ibnu ‘Umar malah mengatakan, “Demi Allah, seharusnya aku yang berhak menanyakan padamu ‘Di mana Allah?’.”

Kemudian setelah Ibnu Umar melihat keimanan pengembala ini, dia lantas membelinya, juga dengan hewan gembalaannya (dari Tuannya). Kemudian Ibnu Umar membebaskan pengembala tadi dan memberikan hewan gembalaan tadi pada pengembara tersebut.[1]

Kedua: Ibnu ‘Abbas meyakini Allah berada di atas langit yang tujuh.

Ibnu Abbas menemui ‘Aisyah ketika ia baru saja mati. Ibnu Abbas berkata padanya,

كنت أحب نساء رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم يكن يحب إلا طيبا وأنزل الله براءتك من فوق سبع سموات

“Engkau adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah engkau dicintai melainkan kebaikan (yang ada padamu). Allah pun menurunkan perihal kesucianmu dari atas langit yang tujuh.”[2]

Begitu pula dalam riwayat lainnya, dari Ibnul Mubarok, dari Sulaiman At Taimi, dari Nadhroh, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,

ينادي مناد بين يدي الساعة أتتكم الساعة – فيسمعه الأحياء والأموات – ثم ينزل الله إلى السماء الدنيا

Ketika hari kiamat ada yang menyeru, “Apakah datang pada kalian hari kiamat?” Orang yang hidup dan mati pun mendengar hal tersebut, kemudian Allah pun turun ke langit dunia.[3]

Dalam riwayat lainnya, Ibnu ‘Abbas mengatakan,

إذا نزل الوحي سمعت الملائكة صوتا كصوت الحديد

Jika wahyu turun, aku mendengar malaikat bersuara seperti suara besi.[4] Jika dikatakan bahwa wahyu itu turun dan wahyu itu dari Allah, ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas karena sesuatu yang turunn pasti dari atas ke bawah.

Penulis berkata, “Dan banyak sekali perkataan sahabat yang menunjukkan bahwa mereka meyakini bahwa Allah berada di atas langit di atas ‘Arsy yaitu dapat dilihat dari hadits-hadits yang mereka bawakan sebagaimana ditunjukkan dalam  pembahasan kami serial kedua. Karena bagaimana mungkin para sahabat tersebut membawakan hadits tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka tidak memahami dan meyakininya.”

Kesaksian Para Tabi’in rahimahumullah

Pertama: Pengakuan Ka’ab Al Ahbar[5] rahimahullah tentang pembicaraan keberadaan Allah dalam taurat

Dari Ka’ab Al Ahbar berkata bahwa Allah ‘azza wa jalla dalam taurat berfirman,

أنا الله فوق عبادي وعرشي فوق جميع خلقي وأنا على عرشي أدبر أمور عبادي ولا يخفى علي شيء في السماء ولا في الأرض

Sesungguhnya Aku adalah Allah. Aku berada di atas seluruh hamba-Ku. ‘Arsy-Ku berada di atas seluruh makhluk-Ku. Aku berada di atas ‘Arsyku. Aku-lah pengatur seluruh urusan hamba-Ku. Segala sesuatu di langit maupun di bumi tidaklah samar bagi-Ku. [6]

Kedua: Masruq[7] rahimahullah mengakui Allah berada di atas langit yang tujuh

Masruq rahimahullah menceritakan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

حدثتني الصديقة بنت الصديق حبيبة حبيب الله، المبرأة من فوق سبع سموات.

“’Aisyah -wanita yang shidiq anak dari orang yang shidiq (Abu Bakr), kekasih di antara kekasih Allah, yang disucikan oleh Allah yang berada  di atas langit yang tujuh.”[8]

Ketiga: ‘Ubaid bin ‘Umair[9] menceritakan bahwa Allah turun ke langit duni pada sepertiga malam terakhir.

‘Ubaid bin ‘Umair rahimahullah mengatakan,

ينزل الرب عزوجل شطر الليل إلى السماء الدنيا فيقول من يسألني فأعطيه من يستغفرني فأغفر له حتى إذا كان الفجر صعد الرب عزوجل أخرجه عبد الله بن الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية تصنيفه

“Allah ‘azza wa jalla turun ke langit dunia pada separuh malam. Lalu Allah berkata, “Siapa saja yang memohon kepada-Ku, maka akan Kuberi. Siapa saja yang meminta ampun kepada-Ku, maka akan Kuampuni.” Jika fajar telah terbit, Allah pun naik.” Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad dalam kitab karyanya yang berisi bantahan terhadap Jahmiyah.[10]

Keempat: Qotadah As Sadusi[11] rahimahullah menceritakan tentang pengakuan Bani Israil.

Qotadah rahimahullah mengatakan bahwa Bani Israil berkata,

يا رب أنت في السماء ونحن في الأرض فكيف لنا أن نعرف رضاك وغضبك قال إذا رضيت استعملت عنكم عليكم خياركم وإذا غضبت إستعلمت عليكم شراركم هذا ثابت عن قتادة أحد الحفاظ الكبار

“Wahai Rabb, Engkau di atas langit dan kami di bumi, bagaimana kami bias tahu jika Engkau ridho dan Engkau murka?” Allah Ta’ala berfirman, “Jika Aku ridho, maka Aku akan memberikan kebaikan pada kalian. Dan jika Aku murka, maka Aku akan menimpakan kejelekan pada kalian.”[12]

Kelima: Malik bin Dinar mengakui Al Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) dari atas ‘Arsy

Dari Malik bin Dinar, beliau berkata,

خذوا فيقرأ ثم يقول : إسمعوا إلى قول الصادق من فوق عرشه

“Ambillah (Al Qur’an) ini. Lalu beliau membacanya, kemudian beliau mengatakan, ‘Hendaklah kalian mendengar perkataan Ash Shodiq (Yang Maha Jujur yaitu Allah) dari atas ‘Arsy-Nya’.”[13]

Keenam: Ulama besar Bashroh (Sulaiman At Taimiy) ketika ditanyakan mengenai keberadaan Allah

Harun bin Ma’ruf mengatakan, Dhomroh mengatakan pada kami dari Shodaqoh, dia berkata bahwa dia mendengar Sulaiman At Taimiy berkata,

لو سئلت أين الله لقلت في السماء

Seandainya aku ditanyakan di manakah Allah, maka aku menjawab (Allah berada) di atas langit.[14]

Ketujuh: Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman[15] rahimahullah ditanyakan mengenai istiwa’.

Sufyan Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada beliau,

الرحمن على العرش استوى كيف استوى

“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?” Robi’ah menjawab,

الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق

“Istiwa’ itu sudah jelas maknanya. Sedangkan hakikat dari istiwa’ tidak bisa digambarkan. Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (wahyu tersebut).”[16]

Kedelapan: Ayyub As Sikhtiyani[17] rahimahullah menanggapi orang yang mengatakan di atas langit tidak ada sesuatu pun.

Hamad bin Zaid mengatakan bahwa ia mendengar Ayyub As Sikhtiyani berbicara mengenai Mu’tazilah,

إنما مدار القوم على أن يقولوا ليس في السماء شيء

Mu’tazilah adalah asal muasal kaum yang mengatakan bahwa di atas langit tidak ada sesuatu apa pun.[18]

Penulis berkata, “Lihatlah bagaimana kesamaan abusalafy dan orang-orang semacamnya yang mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat. Atau mungkin mereka katakan bahwa Allah itu ada, namun bukan di atas langit. Bukankah hal ini sama dengan pendahulu mereka yaitu Mu’tazilah. Renungkanlah!

Nantikan pembahasan kami selanjutnya. Kami akan menukil perkataan para ulama bahkan ijma’ (konsensus) para ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan bahwa Allah berada di atas langit, di atas seluruh makhluk-Nya. Semoga semakin terbuka hati orang yang masih meragukan hal ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Diselesaikan di sore saat Allah memberi berkah air dari langit, di Pangukan-Sleman, 2 Rabi’uts Tsani 1431 H (17/03/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (Abu Rumaysho Al Ambony)

Artikel https://rumaysho.com



[1] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 95, hal. 127.

[2] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 335.

[3] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 296. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih sesuai syarat Muslim sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 94, hal. 126.

[4] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat hadits ini tsiqoh (terpercaya) sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 93, hal. 126.

[5] Beliau adalah tabi’in senior termasuk thobaqoh kedua, meninggal dunia di akhir-akhir khalifah ‘Utsman. Ibnu Hajar mengatakan bahwa beliau adalah perowi yang tsiqoh (terpercaya).

[6] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 315. Adz Dzahabi mengatakan  bahwa sanadnya shahih. Begitu pula Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyah mengatakan bahwa riwayat ini shahih.

[7] Beliau adalah di antara kibar tabi’in (tabi’in senior), termasuk thobaqoh kedua. Ibnu Hajar mengatakan bahwa ia maqbul (diterima).

[8] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 317. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shohih berdasarkan syarat Bukhari Muslim dan sanadnya sampai pada Abu Shofwan itu shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 128.

[9] Beliau adalah di antara kibar tabi’in (tabi’in senior), termasuk thobaqoh kedua. Ibnu Hajar mengatakan beliau disepakati ketsiqohannya.

[10] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 320.

[11] Beliau termasuk tabi’in, seorang pakar tafsir.

[12] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 336. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini hasan. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 131.

[13] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 348. Adz Dzahabi mengatakan diriwayatkan dalam Al Hilyah dengan sanad yang shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa mengatakan riwayat ini hasan saja termasuk murah hati. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 131.

[14] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat riwayat ini tsiqoh/terpercaya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 133.

[15] Beliau termasuk tabi’in junior dan merupakan guru Imam Malik.

[16] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 352. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 132.

[17] Beliau adalah seorang tabi’in junior, termasuk thobaqoh kelima. Beliau termasuk ulama besar dan ahli ibadah.

[18] Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 354.


Artikel asli: https://rumaysho.com/916-di-manakah-allah-3.html